Hukum Kepailitan
Nama :
Sugik Prastyo
NIM :
160321100049
Hukum
dan Etika Bisnis Kelas A
A. Dasar Hukum dan Definisi Hukum Kepailitan
1.
Definisi Hukum Kepailitan
Dalam peraturan kepailitan
yang lama, yaitu Fv S. 1905 No. 217 jo. 1906 No. 348 yang
dimaksud dengan pailit adalah, setiap berutang atau (Debitor) yang ada dalam keadaan berhenti membayar,
baik atas laporan sendiri maupun atas permohonan seseorang atau lebih berpiutang
(Kreditor) dengan putusan
hakim dinyatakan dalam keadaan pailit.
Lain halnya dengan ketentuan UU No. 4 Tahun 1998 Tentang Kepailitan, yang menyebutkan: Debitor yang mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak membayar sedikitnya satu utang
yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih,
dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam pasal
2, baik atas permohanannya sendiri,
maupun atas permintaan seseorang atau lebih kreditornya.
Menurut Undang-Undang Nomor
37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran utang, yang dimaksud dengan kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan debitor pailit
yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator
di bawah pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam undang-undan gini.
Dilihat dari berbagai arti kata atau pengertian kepailitan tersebut
di atas maka esensi kepailitan secara singkat dapat dikatakan sebagai sita umum atas harta kekayaan debitor baik yang pada waktu pernyataan pailit maupun yang diperoleh selama kepailitan berlangsung untuk kepentingan semua kreditor yang pada waktu debitor dinyatakan pailit,
yang dilakukan dengan pengawasan pihak
yang berwajib. Akan tetapi dikecualikan dari kepailitan adalah :
a. Semua hasil pendapatan debitor pailit selama kepailitan tersebut dari pekerjaan sendiri,
gaji suatu jabatan / jasa, upah pension utang tunggu / uang tunjangan,
sekedar atau sejauh hal itu diterapkan oleh
hakim.
b. Uang
yang diberikan kepada debitor pailit untuk memenuhi kewajiban pemberian nafkahnya menurut peraturan perundang-undangan
(Pasal 213, 225, 321 KUH Perdata).
c. Sejumlah uang yang ditetapkan oleh hakim pengawasan dari pendapatan hak nikmat hasil seperti dimaksud dalam
(Pasal 311 KUH Perdata).
d. Tunjangan dari pendapat ananak-anaknya yang diterima oleh debitor pailit berdasarkan Pasal 318 KUH Perdata.
Menurut Pasal 2 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang kepailitan maka
yang dapat menjadi pemohon dalam suatu perkara kepailitan adalah salah satu dari pihak berikut ini
:
a. Pihak debitor itu sendiri.
b. Salah satu atau lebih dari pihak kreditor.
c. Pihak kejaksaan jika menyangkut dengan kepentigan umum.
d. Pihak
bank Indonesia jika debitornya adalah suatu
bank.
e. Pihak Badan Pengawas Pasar Modal jika debitornya adalah suatu perusahaan efek, bursa efek, lembaga kliring, dan penjaminan,
serta lembaga penyimpanan dan penyelesaian.
f. Menteri keuangan jika debitor perusahaan asuransi, reasuransi, dana pensiun, atau BUMN yang bergerak di bidang kepentingan publik.
2.
Dasar Hukum Kepailitan
Dasar hukum bagi suatu kepailitan adalah sebagai berikut :
a. Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan
b. KUH
Perdata, misalnya, Pasal 1134, 1139, 1149, dan lain-lain.
c. KUH
Pidana, misalnya, Pasal 396, 397, 398, 399, 400, 520, dan lain-lain.
d. Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tenang Perseroan
Terbatas.
e. Undang-undang nomor 4 tahun 1996 tentang hak tanggungan.
f. Undang-undang Nomor 42 Tahun 1996 tentang jaminan Fidusia.
g. Perundang-undangan
di Bidang pasar Modal, Perbankan,
BUMN, dan lain-lain.
B.
Tujuan dan Azas Hukum Kepailitan
Tujuan dari kepailitan sebagaimana tertuang dalam
undang-undang antara lain:
1.
Menghindari perebutan harta debitur apabila dalam waktu yang sama ada
beberapa kreditur yang menagih piutangnya.
2.
Menghindari adanya kreditur pemegang hak jaminan kebendaan yang menuntut
haknya dengan cara menjual barang milik debitur tanpa memperhatikan kepentingan
debitur atau para kreditur lainnya.
3.
Mencegah agar debitur tidak melakukan perbuatan yang dapat merugikan
kepentingan para kreditur, atau debitur hanya menguntungkan kreditur tertentu.
4.
Memberikan perlindungan kepada para kreditur konkuren untuk memperoleh hak
mereka sehubungan dengan berlakunya asas jaminan.
5.
Memberikan kesempatan kepada debitur dan kreditur untuk berunding membuat
kesepakatan restrukturisasi hutang.
Asas-asas kepailitan diatur dalam penjelasan
UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU, yaitu sebagai berikut :
1.
Asas keseimbangan;
2.
Asas kelangsungan usaha;
3.
Asas keadilan;
4.
Asas integrasi;
5.
Asas itikad baik
6.
Asas nasionalitas
C.
Proses
Kepailitan
Proses kepailitan menurut Undang-Undang Nomor 37 Tahun
2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang adalah sebagai
berikut:
1.
Permohonan pailit
2.
Putusan pernyataan pailit
3.
Pencabutan putusan pernyataan pailit
4.
Pengurusan harta pailit
5.
Pemberesan harta pailit
6.
Kewajiban terakhir kuraktor
DAFTAR PUSTAKA
Fuady,
Munir. 2010. Hukum Pailit Dalam Praktik dan Teori.
Citra Adtya Bakti : Bandung.
Sinaga,
Syamsudin M. 2012. Hukum Kepailitan
di Indonesia. Tatanusa : Jakarta.
Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang
Pertanyaan:
1. Ketika seorang pihak/perusahaan dinyatakan
pailit, bagaimana tindakan selanjutnya?
2. Apa yang dimaksud dengan PKPU dan apa
perbedaannya dengan kepailitan?
3. Instansi pemerintah yang mana yang khusus
menangani jika terjadi sengketa kepailitan?
4. Apakah dalam hukum kepailitan, tidak diberi
waktu untuk menunda pembayaran hutang sembari mencari dana?
5. Dalam kasus Hukum Kepailitan di Indonesia,
adakah kelonggaran waktu/penundaan pembayaran yang diberikan ketika seseorang
belum mampu membayar?
6. Dalam Hukum Kepailitan, apakah bisa
diterapkan prinsip Wakalah (diwakilkan) bila tidak sanggup/tidak bisa membayar
hutang dan apakah barang yang disita tetap bisa digunakan selama masa penyitaan
tersebut?
Jawaban:
1. Seorang Majelis Hakim akan memutuskan
permohonan mana yang akan dikabulkan, apakah permohonan debitur atau kreditur.
Dan, resiko dari orang/perusahaan yang telah diputuskan mengalami kepailitan
adalah harus membayar sesuai dengan nominal yang diminta.
2. PKPU (Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang)
Perbedaan
Kepailitan dan PKPU:
a. Upaya Hukum
Kepailitan:
Terhadap putusan atas permohonan pernyataan pailit, dapat diajukan kasasi ke
Mahkamah Agung (Pasal 11 ayat [1] UU Kepailitan). Selain itu terhadap putusan
atas permohonan pernyataan pailit yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap,
dapat diajukan peninjauan kembali ke Mahkamah Agung (Pasal 14 UU Kepailitan).
PKPU: Terhadap
putusan PKPU tidak dapat diajukan upaya hukum apapun (Pasal 235 ayat [1] UU
Kepailitan).
b. Yang melakukan pengurusan harta debitur:
Kepailitan:
Kurator (Pasal 1 angka 5, Pasal 15 ayat [1], dan pasal 16 UU Kepailitan).
PKPU: Pengurus
(Pasal 225 ayat [2] dan ayat [3] UU Kepailitan)
c. Kewenangan Debitur:
Kepailitan:
Sejak tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan, debitur kehilangan haknya
untuk menguasai dan mengurus kekayaannya yang termasuk dalam harta pailit
(Pasal 24 ayat [1] UU Kepailitan).
PKPU: Dalam
PKPU, debitur masih dapat melakukan pengurusan terhadap hartanya selama
mendapatkan persetujuan dari pengurus (Pasal 240 UU Kepailitan)
d. Jangka waktu penyelesaian:
Kepailitan:
Dalam kepailitan, setelah diputuskannnya pailit oleh Pengadilan Niaga, tidak
ada batas waktu tertentu untuk penyelesaian seluruh proses kepailitan
PKPU: Dalam
PKPU, PKPU dan perpanjangannya tidak boleh melebihi 270 (dua ratus tujuh puluh)
hari setelah putusan PKPU sementara diucapkan (Pasal 228 ayat [6] UU
Kepailitan)
3. Lembaga Pengadilan Niaga, pengadilan khusus
yang menangani kepailitan
4. Ada, bahkan jika kedua belah pihak berdamai
maka diadakan perdamaian dan kepailitan tidak dilanjutkan
5. Ada kelonggaran waktu, tidak serta merta
memaksa dan ada negosiasi didalamnya
6. Bisa, tetapi nama dari orang yang berhutang
tetap tercantum dan tidak bisa diubah pada nama orang/pihak lain. Sedangkan
barang yang dalam masa penyitaan tersebut disita tidak dapat digunakan.
Komentar
Posting Komentar